BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa lepas untuk
berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak
mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan
antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus
terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan
kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan
keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia
merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam
sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup
jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat
digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan
spesifikasi kebutuhan yang ada. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian
atau macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum
yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya
secara khusus . Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba untuk
menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan
muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka
terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Pengertian Akad
2. Kedudukan, fungsi Akad
3. Rukun, syarat dan jenis-jenis Akad
1. Pengertian Akad
2. Kedudukan, fungsi Akad
3. Rukun, syarat dan jenis-jenis Akad
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Akad
Secara literal, akad berasal dari
bahasa arab yaitu عَقَََدَ يََعْقِدُ عََََقْدًاyang
berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang
mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih
sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ).
Secara terminologi ulama fiqih, akad
dapat ditinjau dari segi umum dan segi khusus. Dari segi umum, pengertian akad
sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut ulama Syafi’iyah,
Hanafiyah, dan Hanabilah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
berdasakan keinginananya sendiri seperti waqaf, talak, pembebasan, dan segala
sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli,
perwakilan, dan gadai. Sedangkan dari segi khusus yang dikemukakan oleh ulama
fiqih antara lain:
a. Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul
berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.
b. Keterkaitan ucapan antara orang yang berakad
secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.
c. Terkumpulnya
adanya serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang
disertai dengan kekuatan hukum.
d. Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara’
yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
e. Berkumpulnya
serah terima diantara kedua belah pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh
pada kedua belah pihak.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan
bhawa Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau
tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
Akad yang menyalahi syariat seperti
agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. Akad-akad yang dipengaruhi
aib adalah akad-akad pertukaran seperti jual beli dan akad sewa.
B.
Kedudukan, Fungsi, Ketentuan dan
Pengaruh Aib dalam Akad.
a. Kedudukan
dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya
muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
b. Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir
atau akan berzina, tidak harus ditepati.
c. Tidak sah
akad yang disertai dengan syarat. Misalnya dalam akad jual beli aqid berkata:
“Aku jual barang ini seratus dengan syarat dengan syarat kamu menjual rumahmu
padaku sekian…,” atau “aku jual rumah barang ini kepadamu tunai dengan harga
sekian atau kredit dengan harga sekian”, atau “aku beli barang ini sekian
asalakan kamu membeli dariku sampai dengan jangka waktu tertentu sekian”.
d. Akad yang dapat dipengaruhi Aib adalah akad
akad-akad yang mengandung unsur pertukaran seperti jual beli atau sewa.
e. Cacat yang
karenanya barang dagangan bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa mengurangi
harga/nilai barang dagangan, dan cacat harus ada sebelum jual beli menurut
kesepakatan ulama. Turunnya harga karena perbedaan harga pasar, tidak termasuk
cacat dalam jual beli.
f. akad yang
tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan, dan sedekah,
tak ada sedikitpun pengaruh aib di dalamnya.
g. Akad tidak
akan rusak/ batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
h. Nikah tidak dikembalikan (ditolak) lantaran
adanya setiap cacat yang karenanya jual beli dikembalikan, menurut ijma’ kaum
musllimin, selain cacat seperti gila,kusta, baros, terputus dzakarnya,
imptoten, fataq (cacat kelamin wanita berupa terbukanya vagina sampai lubang
kencing atau Ada juga yang mengatakan sampai lubang anus (cloaca). Kebalikan
dari fatq adalah rataq, yaitu tertutupnya vagina oelh daging tumbuh), qarn
(tertutupnya vagina oleh tulang), dan adlal, tidak ada ketetapan khiyar tanpa
diketahui adanya khilaf diantara ahlul ilmi. Dan disyaratkan bagi penetapa
khiyar bagi suami tidak mengetahuinya pada saat akad dan tidak rela dengan
cacat itu setelah akad. Apabila ia tahu cacat itu setelah akad atau sesudahnya
tetapi rela, maka ia tidak mempunyai hak khiyar. Dan tidak ada khilaf bahwa
tidak adanya keselamatan suami dari cacat, tidak membatalkan nikah, tapi hak
khiyar tetap bagi si perempuan, bukan bagi para walinya.
i.
Dalam hal pernikahan Jika ada cacat
dalam mahar maka boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi
harus diganti.
C. Rukun Akad
1. Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad)
Aqid adalah
pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang
akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli.
Ulama fiqh memberikan persyaratan atau criteria yang harus dipenuhi oleh aqid
antara lain :
a.
Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
b.
Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar’i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar’i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2. Ma’qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma’qud
‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a.
Obyek transaksi harus ada ketika akad atau
kontrak sedang dilakukan.
b.
Obyek transaksi harus berupa mal
mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki
penuh oleh pemiliknya.
c.
Obyek transaksi bisa
diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d.
Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e.
Obyek transaksi harus suci, tidak
terkena najis dan bukan barang najis.
3. Shighat, yaitu Ijab dan Qobul
Ijab Qobul
merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang
melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah
penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh
orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah
orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan
keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab
adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan
oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang
yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua
belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan
kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat
yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
a.
adanya kejelasan maksud antara kedua
belah pihak.
b.
Adanya kesesuaian antara ijab dan
qobul
c.
Adanya pertemuan antara ijab dan qobul
(berurutan dan menyambung).
d.
Adanya satu majlis akad dan adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan penolakan dan
pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :
a. penjual
menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b. Adanya penolakan
ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak
belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan
qobul dianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah
-nya sebelum terjadi kesepakatan
e. Rusaknya
objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
D.
Syarat Akad
1. Syarat
terjadinya akad
Syarat
terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad
secara syara’. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus.
Syarat akad yang bersifat umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna
wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam
setiap akad adalah:
a.
Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
b.
Yang dujadikan objek akad dapat menerima
hukumnya.
c.
Akad itu diperbolehkan syara’dilakukan oleh
orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
d.
Akad dapat memberikan faidah
sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
e.
Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum
terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali
sebelum adanya kabul.
f.
Ijab dan kabul harus bersambung,
sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad
menjadi batal.
Sedangkan
syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam
sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus
ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam
pernikahan.
2. Syarat
Pelaksanaan akad
Dalam
pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan
adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas
dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan
adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara’.
Syarat Kepastian Akad (luzum)
3. Dasar dalam
akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat,
khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalika
E.
Pembagian Akad
Pembagian
akad dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda,
yaitu:
1. Berdasarkan
ketentuan syara’
a.
Akad shahih
akad shahih
adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dalam
istilah ulama Hanafiyah, akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syara’
pada asalnya dan sifatnya.
b.
Akad tidak shahih
adalah akad
yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dengan
demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain
Hanafiyah menetapkan akad bathil dan fasid termasuk kedalam jenis akad tidak
shahih, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dengan batal.
Menurut
ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi memenuhi rukun atau
tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang
yang bukan golongan ahli akad. Misalnya orang gila, dan lain-lain. Adapun akad
fasid adalah akad yang yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang
syara’ seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan
percekcokan.
2. Berdasarkan ada
dan tidak adanya qismah:
a.
akad musamah, yaitu akad yang telah
ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan
ijarah.
b.
Ghair musamah yaitu akad yang belum
ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukumnya.
3. Berdasarkan zat benda yang diakadkan :
a.
benda yang berwujud
b.
benda tidak berwujud.
4. Berdasarkan
adanya unsur lain didalamnya :
a.
Akad munjiz yaitu akad yang
dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti
dengan pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan
tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad.
b.
Akad mu’alaq adalah akad yand didalam
pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya
penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c.
Akad mu’alaq ialah akad yang didalam
pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad,
pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.
Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat
hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan.
5. Berdasarkan
disyariatkan atau tidaknya akad :
a.
Akad musyara’ah ialah akad-akad yang
debenarkan syara’ seperti gadai dan jual beli.
b.
Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang
dilarang syara’ seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya.
6. Berdasarkan
sifat benda yang menjadi objek dalam akad :
a.
akad ainniyah ialah akad yang
disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
b.
Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang
tidak disertai dengan penyerahan barang-barangg karena tanpa penyerahan
barangpun akad sudah sah.
7. Berdasarkan
cara melakukannya:
a.
akad yang harus dilaksanakan dengan
upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan
petugas pencatat nikah.
b.
Akad ridhaiyah ialah akad yang
dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak
seperti akad-akad pada umumnya.
8. Berdasarkan
berlaku atau tidaknya akad :
a.
akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas
dari penghalang-penghalang akad
b.
akad mauqufah, yaitu akad –akad yang
bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang
berlaku setelah disetujui pemilik harta)
9. Berdasarkan
luzum dan dapat dibatalkan :
a.
Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak
yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti
bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah
bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara’
b.
Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak,
dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
c.
Akad lazimah yang menjadii hak kedua
belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti titipan boleh
diambil orang yang menitip dari orang yang dititipi tanpa menungguu persetujuan
darinya. Begitupun sebalikanya, orang yang dititipi boleh mengembalikan barang
titipan pada orang yang menitipi tanpa harus menunggu persetujuan darinya.
10. Berdasarkan tukar menukar hak :
a.
Akad mu’awadhah, yaitu akad yang
berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli
b.
Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku
atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah.
c.
Akad yang tabaru’at pada awalnya namun menjadi
akad mu’awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah.
11. Berdasarkan harus diganti dan tidaknya :
a.
akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung
jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
b.
Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan
oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan.
c.
Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur,
salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti
rahn.
12. Berdasarkan tujuan akad :
a.
tamlik: seperti jual beli
b.
mengadakan usaha bersama seperti
syirkah dan mudharaba
c.
tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn
dan kafalah
d.
menyerahkan kekuasaan seperti
wakalah dan washiyah
e.
mengadakan pemeliharaan seperti ida’
atau titipan
13. Berdasarkan
faur dan istimrar :
a.
akad fauriyah, yaitu akad-akad yang
tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti
jual beli.
b.
Akad istimrar atau zamaniyah, yaitu
hukum akad terus berjalan, seperti I’arah.
14. Berdasarkan
asliyah dan tabi’iyah :
a.
akad asliyah yaitu akad yang berdiri
sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I’arah.
b.
Akad tahi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan
adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas
dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak
berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas diskursus
yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.terkait dalam
implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun maupun
syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad.
Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari’ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain. Semua mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak.
Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari’ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain. Semua mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak.
Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan
kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan
kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA
Dimyauddin Djuwaini.Pengantar Fiqh Muamalah.(Yogyakarta:Pustaka
pelajar,2008)
Rahmat Syafei. Fiqih Muamalah.(Bandung:Pustaka Setia,2006)
Sa’adi Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. IV,
2009
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir,Surabaya: pustaka Progresif,cet 25
tahun 2002,
Al-Munjid, Beirut: Daar Al-Masyriq
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Beirut: Daar al-Fiqr,
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada
AKAD ; PENGERTIAN FUNGSI
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : fiqh
Dosen
Pengampu : Farid
Oleh
:
NAMA
1. A. ZAENURI
2. CHASAN MASHURI
3. ABDU ROZAK
4. ROMAHDON
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadlirat Allah SWT, atas limpahan rahmat,taufik,
hidayah dan inayah-Nya ,sehingga penulis dapat menyeleaikan Makalah yang
berjudul “Akad : pengertian”.
Disamping
itu, apa yang telah tersaji ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak ,
kepadanya kami mengucapkan terima kasih.
1. Prof.Dr.H.Ahmad
Rofiq,MA. selaku Rektor Universitas
Wahid Hasyim Semarang
2. Drs.H.Asro’i
Thohir,M.Pd.I, selaku Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Semarang
3. Asma’ul
Husna,S.Ag,M.Pd selaku pembimbing satu dan bapak Asrofi,S.Pd selaku pembimbing
dua yang telah dengan sabar membimbing kami dalam menyusun skripsi ini.
4. Uripah,
selaku Kepala MI Rejosari Barat Kecamatan TersonoKabupaten Batang yang telah
memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan penelitian.
5. Seluruh
pihak yang telah membantu dan tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Sungguh kami
tidak dapat memeberikan balasan apapun, kecuali do’a semoga Allah SWT
memberikan balasan pahala yang berlipat atas amal kebaikan yang telah diberikan
Akhirnya kami
menyadari bahwa apa yang telah tersaji dalam penulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan maka segala bentuk kritik dan saran sangat kami harapkan, demi
menidak lanjuti pada kajian-kajian lebih lanjut.
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar